Mutiara Hikmah

"Banyak orang yang telah meninggal, tapi nama baik mereka tetap kekal. Dan banyak orang yang masih hidup, tapi seakan mereka orang mati yang tak berguna. – Imam Syafi’i" “Janji Allah tak pernah mengecewakan, dan bila kamu masih merasa kecewa mungkin ada yang salah dengan imanmu”

Sinergikan Pengetahuan, Mantabkan Pemahaman

Sinergikan Pengetahuan, Mantabkan Pemahaman
Sambutan Ketua Umum pada acara sarasehan Pemantapan Pemahaman tentang Zakat

 RISALAH TAUHID AL-WALIYYAH (Habibie M. Waly)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah

dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah : 35)

 

Allah menyuruh setiap hamba untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhannya dengan jalan apapun sepertimana pada firman Allah diatas. Pesan ayat ini menunjukkan bahwa apapun yang dilakukan oleh setiap hamba semata karena mencari Allah, mendekatkan diri dan  menuhankan  Allah  dengan  ke-Esaan-Nya  dalam setiap tujuan, maka perbuatan tersebut dihukumkan menjadi wajib, yaitu mendapat pahala jika menuntut ilmu tersebut dan mendapat dosa jika ditinggalkannya.

 

Didalam kitab tafsir Anwar At-Tanzil1, Imam Badhawi membuat penjelasan bahwa ayat diatas menunjukkan arti kepada perbuatan yang bersifat baik dan meninggalkan maksiat, amal ini disebut dengan “Al- Wasiilah”. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist :

Adapun Wasilah (jalan mendekatkan diri kepada Allah) adalah tempat didalam surga

Dapat diambil kesimpulan bahwa segala perbuatan baik  selama  tidak  ada  unsur  kemaksiatan  didalamnya maka diperbolehkan dan perbuatan tersebut diridhai oleh Allah SWT. Demikian juga terhadap ilmu tauhid ini, bahwa setiap diri dari seorang muslim adalah diwajibkan untuk menuntutkannya. Karena pada hakikatnya ia telah mempergunakan   segala   niat,   akal   dan   amal   untuk menuntut jalan menuju kepada Allah SWT.   Disinilah maksud  yang  telah  dikatakan  oleh  Rasulullah  SAW diatas, bahwa segala sesuatu yang baik maka tempatnya ada didalam surga.

 

Para ulama sepakat bahwa mempelajari ilmu Tauhid berhukum wajib. Beberapa Ulama yang berpadapat demikian sangat banyak sekali, termasuk didalamnya adalah pendapat Seyikh Ibnu Arabi dalam kitab Dusuqi, Imam Haramain dalam kitab Kifayatul Awam dan Abuya Syeikh Muhammad Waly Al-Khalidy dalam kitabnya Tanwirul Anwar dan ulama-ulama lainnya, seperti Imam Hasan Al-‘Asyari dan Al-Maturidy yang telah disebutkan dalam kitab Durus Samin.

 

Sedangkan definisi wajib jika diterjemahkan dalam ranah fikih adalah :Segala Perbuatan yang dikerjakan mendapat pahala dan meninggalkannya mendapat dosa. Jadi ilmu tauhid jika tidak dipelajari maka meninggalkannya adalah dosa. Siapapun yang tidak mempelajarinya yaitu   mempelajari  metode  dan  cara untuk mendekatkan diri kepada Allah seorang muslim tersebut telah berbuat kesalahan. Bahkan dalam beberapa keteranga kita tauhi menyebutkan,   bahwa   setiap hamba yang tidak mempelajari Ilmu Tauhid maka bisa jadi  imanya  tidak  sah  dan  ia  tergolong  kepada  orang-orang yang tidak memiliki akal, demikian diungkapkan oleh  Imam  Haramin  dalam  kitab  Kifayatul  Awam  dan Ibnu Arabi dalam Hasyiah Dusuqi. Maka oleh karena itu, sepertimana yang telah tertera ayat diatas bahwa sesungguhnya memberikan pesan kepada setiap diri orang muslim, baik yang sudah baligh atau yang dewasa bahwa mempelajari Ilmu Tauhid, yaitu mempelajari kedekatan diri kepada Allah adalah diharuskan demikian juga terhadap pemahaman-pemahaman metode kaedah didalamnya. Kewajiban ini dirumuskan dalam satu kaedah ushul :

Perintah dengan sesuatu adalah perintah dengan menyampaikan sesuatu kepadanya”

Pada dasarnya segala perintah itu berfaedah makna Lil Wujub, yaitu di wajibkan. Untuk itu setiap lafadz jika didalamnya berupa kata menyuruh maka secara ghalib (biasa) mengandung perbuatan yang wajib dilakukan. Sedangkan segala hal yang membantu terwujudnya perbuatan perintah tersebut jugalah diwajibkan, karena pada hakikatnya mewujudkan suatu perintah wajib dengan bantuan untuk mengarah kepadanya adalah sama-sama diwajibkan.  Seperti  contoh  perintah  mendirikan  shalat yang  hukumnya  adalah  wajib  ditunaikan,  jika ditinggalkan maka telah berdosa. Akan tetapi untuk mendirikan perintah tersebut tidaklah dapat dilaksanakan tanpa mencapai beberapa syarat-syarat diluarnya, seperti mengambil air wudhu, menutup aurat, dan melaksanakan pebuatan yang menjadi pelengkap bagi shalat tersebut.

Maka  demikian  halnya  Ilmu  Tauhid, mempelajarinya merupakan suatu kewajiban yang harus dituntut bagi setiap muslim seluruhnya karena wasilah mengenal Allah tidak lain dan tidak bukan adalah melalui mempelajari Ilmu Tauhid, dari ilmu inilah nanti akan diajarkan berbagai macam metode, cara dan arahan untuk mencapai   makrifat   kepada   Allah   SWT.   Singkatnya, bahwa segala cara dan metode yang membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah hukumnya adalah wajib, baik   adakalanya   ia   mempelajari   hukum-hukum   ilmu tauhid, mempelajari penerapan metode ilmu dan caranya, kemudian menghafalkannya ataupun meresapi segala makna-makna  dari  aturan-aturan  tersebut  jugalah berhukum wajib. kesimpulannya, mengenal Allah adalah wajib dan mempelajari cara untuk mengenal-Nya jugalah wajib. Inilah maksud penjelasan dari maksud kaedah tersebut diatas. Bahwa apapun yang kita perbuat hanya semata untuk mendapatkan keridhaan-Nya, selama bukan perbuatan yang haram, bukan maksiat, dan sesuai dengan arahan dalil nas maka amal perbuatan tersebut wajib dilakukan. Insyallah bab ini akan dijelaskan secara rinci pada bab-bab selanjutnya.

 Berkenaa denga arti   Tauhid maka   secara bahasa maknanya adalahEsa” atau Mengesakan,

.Maksudnya untuk menghadirkan Dzat Allah dalam segala hal pada tiap diri seorang hamba dengan jalan berfikir akan segala ciptaan-ciptaan-Nya dan menghilangkan dugaan-dugaan yang belum yakin serta menghapuskan segala pemikiran yang tidak layak bagi- Nya. Tidak ragu bertauhid kepada-Nya dan tidak sedikit ragu mengenal-Nya, akan tetapi ia wajib  yakin dengan seyakin-yakinnya.

Terkait definisi Ilmu Tauhid diatas Abuya Muhibbuddin Waly merincikan penjelasannya sebagai berikut2 :
Mempercayai ke Maha Esaan yang disembah dengan  ibadah  serta  mengitikadkan  dalam  keyakinan hati keesaan-Nya dan itulah yang dikaitkan  kepada yang Maha Disembah pada zat-Nya, pada sifat-sifat-Nya, dan pada perbuatan-perbuatan-Nya.

 

Maka  tidak  ada  satu  zat  pun  yang  menyerupai zatnya Allah SWT. Dan zat Allah tidak menerima pembagian atau terbagi dalam bahagian, tidak ada pada kenyataan, tidak ada pada lintasan hati dan tidak ada dalam arti gambaran lintasan pada otak atau pada hati. Aqidah yang demikian itu adalah sejalan dengan kenyataan dalam hukum akal.

 

Sifat-sifat Allah taala tak ada  kesamaan  dengan sifat-sifat makhluk apalagi sebaliknya. Sifat-sifat Allah tidak terhitung dari jenis yang satu, di mana dapat kita katakan bahwa Allah taala itu mempunyai dua kudrat dan seterusnya dan tidak pula ada berserikat pada perbuatan-perbuatan-Nya,   karena   pada   selain   Allah taala tidak ada perbuatan menciptakan, kalaupun ada maka dikatakan kasab (dan bukan dikatakan khalq), meskipun  lahiriahnya  dari  manusia  tetapi  pada hakikatnya digerakkan oleh yang Maha Kuasa.”


Nama dari penyebutan Ilmu Tauhid” terdapat beberapa klasifikasi yang lain, Abuya Muhibbuddin menjelaskan sebagai berikut3

Dalam memahami soal-soal aqidah Islamiah lebih baik   terlebih   dahulu   dimaklumi   istilah-istila yang dipakai dalam lingkungan ini, seperti:

 

Ilmu Ushuluddin, yakni ilmu mengenai pokok- pokok agama yang membicarakan soal-soal aqidah Islamiah, yaitu :

a. Kepercayaan (aqidah, itikad) yang bertalian dengan ketuhanan (ilahiyah).

b. Kepercayaan    yan bertalia denga kenabian (nubuwat)

c. Kepercayaan  yang  bertalian  dengan  hal  keadaan yang ghaib (hari akhirat, surga, neraka, dan lain- lain)

d. Dan lain-lain.

 Ilmu Kalam, karena dalam ilmu ini banyak dibicarakan sifat-sifat Allah, di antaranya Al-Kalam (berkata-kata-Nya Allah Ta'ala). Para ulama dan para ahli ilmu kalam dinamai mutakallimin atau mutakallimun.

 Ilmu Tauhid, yakni ilmu Keesaan Tuhan karena banyak dibicarakan dalam ilmu ini tentang Keesaan-Nya Allah Taa'ala.

Ilmu Aqaa'id, atau ilmu 'aqidah yakni ilmu itiqad karena banyak dibicarakan dalam ilmu ini masalah- masalah itiqad atau kepercayaan (keimanan).

 Ilmu  Sifat  Dua  Puluh,  menurut  sebagian  umat Islam yang berbahasa dengan bahasa Melayu dinamakan ilmu ini dengan sifat dua puluh karena di dalam ilmu ini dibicarakan dua puluh sifat yang wajib bagi Allah Ta'ala.

Semua istilah di atas hakikatnya satu, yakni kepercayaan tentang Ke-Tuhanan, Ke-Nabian dan Ke- Akhiratan.  Dan ini  disebutkan dengan  ilmu ushuluddin atau ilmu pokok-pokoknya keagamaan. Kalaulah demikian maka istilah keagamaan yang disebutkan dengan furu’ syariat ialah ilmu yang bertalian dengan ibadah, perkawinan, jual beli, politik, dan lain-lain. Maka dapat ditarik  kesimpulan  bahwa ushuluddin  dan  istilah-istilah yang berkenaan dengannya merupakan itiqad-itiqad atau aqidah-aqidah, sedangkan furu’ syari’at merupakan nilai- nilai hukum yang bersifat lahiriah.

 

Selain nama-nama Tauhid yang telah disebutkan Abuya diatas, ada beberapa istilah lain yang menjadi masyhur bagi kalangan masyarakat Aceh, penyebutan tersebut  disebut  dengan  Ilme  I’tiqeud  Limong  Ploh, yang artinya  Ilmu yang mempelajari tentang Akidah 50. Ada alasan mengapa masyarakat aceh menyebutkan penamaan tersebut sebagai nama lain dari Ilmu Tauhid, hal ini karena Akidah Lima Puluh tersebut merangkum sifat  Wajib  bagi  Allah  ada  20,  20  sifat  mustahil  bagi Allah, satu sifat Jaiz bagi Allah, 4 sifat wajib bagi Rasul, dan  satu  sifat  jaiz  bagi Rasul. Beberapa sifat ini jika dikumpulkan maka berjumlah 50 sifat atau tauhid 50. itulah sebabnya disebut dengan istilah nama I’tiqeud Limong Ploh atau Akidah 50, karena ilmu tersebut mempelajari tentang sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah serta Rasul-Nya.

 Tauhid” merupakan ilmu pengetahuan yang telah menjadi satu disiplin ilmu, untuk ia harus terunsur kepada sepuluh perkara dasar dalam ilmu pengetahuan. Untuk itu bagi  sang  penuntut  ilmu  haruslah memahami  10  dasatersebut sebelum mengenal lebih jauh terhadap ilmu yang ia tuntutkan. Semua ilmu memiliki 10 dasar perkara, termasuk dari Ilmu Tauhid itu sendiri, berikut penjelasan klasifikasinya4:

Sepuluh dasar setiap ilmu pengetahuan # Pertama had,

Kedua maudhu, Ketiga hasilan

 

Pertama, Had; maksudnya definisi pada sesuatu ilmu. Hal keadaan ini telah dimaklumi sebelumnya.

Kedua, Maudhu; yakni subjek atau pokok yang merupakan sandaran bagi ilmu ini, yakni zat Allah Ta’ala disudut wajibnya, mustahilnya, dan boleh jadinya (jawaz). Demikian juga zat para Rasul. Dan juga mengetahui hal yang mungkin atau boleh jadi bagi Allah SWT. Semuanya ini untuk dapat kita sampai kepada hakikat wujud Tuhan Yang Maha Pencipta, dan hal-hal yang bersifat sami seperti yang telah disampaikan oleh kitab suci Al-Qur’an.

 

Ketiga, Hasil (tsamrah) dari pada tauhid yang merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan, yaitu mengenal Allah SWT dengan dalil-dalil yang meyakinkan, dan tidak boleh ada perbedaan paham padanya. Maka adalah faidah dari ilmu tauhid ialah menang dengan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, mulai dari alam barzah hingga seterusnya.


Keempat, Kelebihannya; bahwa ilmu tauhid adalah semulia-mulia  ilmu  oleh  karena  bertalian  dengan  zat Allah taala, zat para Rasul-Nya, dan lain-lain. Hal keadaan ini sudah dimaklumi bahwa sesuatu yang bergantung (mutaalliq) adalah mulia melihat kepada mulianya tempat bergantung (mutaallaq). Oleh karena ilmu tauhid dipertalikan dengan Allah, para Nabi dan para Rasul, berarti ilmu ini lebih mulia dari segala ilmu karena hal keadaan ini.

 

Kelima, Pertaliannya; ilmu ini adalah pokok semua ilmu agama, selainnya adalah merupakan cabang. Berkata penyair:


Wahai pengikut untuk menuntut ilmu semua  #  Setiap

ilmu baginya tauhid adalah hamba”

Yakni, apabila anda mau mengikut petunjuk untuk mencari ilmu pengetahuan, maka ketahuilah bahwa semua ilmu adalah hamba atau budak ilmu tauhid atau ilmu Kalam.

Ilmu fiqh mentashihkan hukum lahirnya # Kemudian anda lalai pada Tuhannya

Yakni bahwa ilmu fiqh perlu anda ketahui untuk dapat anda mencari kebenaran pada hukum, akan tetapi tanpa ilmu tauhid anda bisa lalai pada Yang Maha Menurunkan hukum-hukum itu.

Keenam,   Penciptanya yang   menciptaka ilmu tauhid selaku salah satu ilmu pengetahuan yang mempunyai disiplin ilmu ialah Syekh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, beliau dilahirkan di Basrah Iraq pada tahun 260 H, bersesuaian dengan tahun 873 M, dan beliau meninggal dunia di Basrah juga pada tahun 324 H sejalan dengan tahun 935 M.